Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 14): Muliakan Ulama
Baca pembahasan sebelumnya pada artikel Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 13): Hafalkan, Diskusikan, dan Bertanyalah
Bismillah…
Ulama itu ibarat ayah untuk ruh, seperti bapak adalah ayah untuk jasmani. Sebagaimana dikatakan oleh ulama kita,
الشيخ أب للروح كما أن الوالد أب للجسد
“Ulama/guru/ustadz adalah ayah untuk ruh, sebagaimana bapak adalah ayah untuk jasad.”
Sebagaimana kita wajib menghormati ayah kandung, demikian pula para ustaz, kyai, atau ulama yang telah mengajarkan ilmu kepada kita juga harus dihormati.
Kita simak bagaimana keteladanan para ulama dalam menghormati guru mereka. Kita coba resapi ungkapan Syu’bah bin Hajaj Rahimahullah ini,
كل من سمعت مته حديثا فأنا له عبد
“Siapa pun yang pernah aku dengarkan hadis darinya, maka aku adalah budaknya.”
Dalil memuliakan ulama
Muhammad bin Ali Al-Udfuwi Rahimahullah mengungkap sebuah ayat yang mendasari ucapan Syu’bah Rahimahullah di atas,
إذا تعلم الإنسان من العالم واستفاد منه الفوائد فهو له عبد، قال تعالى (وإذ قال موسى لفتاه)، وهو يوشع بن نون، ولم يكن مملوكا له، وإنما كان متلمذا له متبعا له، فجعله الله فتاه لذلك
“Bila seorang belajar kepada seorang berilmu (alim), lalu dia mendapat manfaat dari ilmunya, maka dia adalah budak bagi orang alim itu. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَىٰهُ
‘Ingatlah ketika Musa berkata kepada budaknya‘ (QS. Al-Kahfi : 60).
Budak yang dimaksud adalah Yusya’ bin Nun. Padahal sebenarnya Yusya’ bukanlah budaknya Musa. Sejatinya beliau adalah murid dan pengikut setia Musa. Namun, ternyata Allah Ta’ala menyebut Yusya’ sebagai hamba sahayanya Musa.”
Kita semua mengenal siapakah Yusya’ bin Nun ‘Alaihissalam. Beliau juga nabi sebagaimana Musa ‘Alaihissalam. Meskipun beliau juga nabi, saat beliau berguru kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam, Allah Ta’ala menyebut Yusya’ sebagai hamba sahayanya Musa ‘Alaihissalam. Beliau yang nabi saja seperti itu kedudukannya di hadapan gurunya, bagaimana lagi kita orang yang bukan nabi dan bukan orang saleh? Wallahu a’lam. Oleh karena itu, kita lebih butuh lagi untuk memuliakan para guru dan ulama kita.
Islam secara tegas memerintahkan kita memuliakan para ulama. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis dari sahabat Ubadah bin Shomit Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ليس من أمتي من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا حقه
“Bukan termasuk umatku, siapa saja yang tidak mengormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, atau tidak tahu hak-hak para alim ulamanya umat kami.”
Baca Juga: Derajat Mulia Penuntut Ilmu Agama
Contoh adab memuliakan ulama
Pertama, berperilaku tawadu’ (rendah hati) di depannya.
Kedua, memperhatikan dan mendengarkan petuahnya.
Ketiga, perhatian kepadanya.
Keempat, berbicara santun dan sopan saat mengobrol dengannya.
Kelima, mengharumkan nama guru saat bercerita tentangnya dengan pemuliaan yang wajar kepada guru yang juga manusia.
Keenam, berterima kasih atau merasa berhutang budi karena ilmu yang telah beliau ajarkan.
Ketujuh, tidak menampakkan ketidaktertarikan pada kajian atau nasihat-nasihatnya.
Kedelapan, berhati-hati dengan tidak menyakiti beliau, baik dengan ucapan ataupun perbuatan.
Kesembilan, mengingatkan beliau jika salah dengan cara yang santun dan lembut.
Enam sikap beradab sebagai respon terhadap kesalahan guru
Murid juga perlu mengingatkan gurunya dengan cara yang santun dan lembut jika gurunya melakukan kesalahan. Hal ini karena beliau juga manusia, walaupun setinggi apapun ilmu dan ketakwaannya. Manusia adalah tempatnya salah dan aib. Ada saatnya juga guru itu berbuat salah. Sebagaimana murid juga bisa berbuat salah.
Syekh Sholih Al-‘Ushoimi Hafidzohullah menerangkan ada enam sikap beradab sebagai respon terhadap kesalahan guru/ustaz, yakni:
Pertama, tabayun atau mencari penjelasan apakah benar sang guru melakukan kesalahan tersebut.
Kedua, berikutnya mencari penjelasan apakah benar kesalahan tersebut benar-benar tepat dinilai sebagai kesalahan. Bisa jadi sebab kesalahan yang dituduhkan adalah karena salah paham. Padahal apa yang dituduhkan kepada sang guru sejatinya bukan kekeliruan. Seperti kata penyair,
وكم من عائب قولا صحيحا # وآفاته من الفهم السقيم
“Betapa banyak orang menyalahkan ucapan yang benar, sebabnya hanya salah paham.”
Cara tabayun langkah ke dua ini adalah dengan bertanya kepada ustaz yang lain atau orang yang dipandang berilmu. Karena hanya orang berilmu yang tahu apakah kesalahan yang dituduhkan adalah benar kesalahan ataukah tidak.
Ketiga, tetap kita katakan salah jika guru terbukti melakukan kesalahan, meskipun yang melakukan adalah orang yang sangat kita hormati dan kita pandang berilmu.
Keempat, berusaha keras mencari alasan untuk berpikir positif.
Kelima, menyampaikan masukan dengan cara yang santun dan lembut. Jangan bersikap dan berkata kasar, apalagi memviralkan ketergelinciran guru.
Keenam, tidak merendahkan nama baik guru, walaupun guru telah terjatuh pada kesalahan. Tetap jagalah nama baiknya di hadapan kaum muslimin. Agar kebaikan yang beliau dakwahkan tetap bermanfaat untuk masyarakat luas.
Sekian penjelasan dari kami. Wallahul muwaffiq, semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kami dan pembaca sekalian untuk dapat memuliakan guru dan ulama.
Baca Juga:
***
Referensi :
Khulashoh Ta’dhiimil Ilmi, karya Syekh Sholih Al-‘Ushoimi Hafidzohullah.
Penulis: Ahmad Anshori, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/72718-agar-aku-sukses-menuntut-ilmu-bag-14-muliakan-ulama.html